Pengelolaan Sampah dari Rumah ke Rumah

pengelolaan sampah dari rumah ke rumah

Di zaman yang sudah sangat modern ini, permasalahan sampah masih menjadi hal yang perlu kita pelototi bersama-sama.

Seakan tidak ada habis-habisnya, bahkan malah semakin bertambah setiap harinya.

Selayang Pandang mengenai Zero Waste Cities

Saya sendiri tidak terlalu asing ketika membaca sekilas mengenai konsep Zero Waste Cities ini. Konsep ini sudah coba dijalankan di Ibukota Provinsi Jawa Barat melalui program Kang Pisman yang digagas oleh pemerintah Kota Bandung pada tahun 2018. 

Sejauh yang saya pahami, program ini menitikberatkan pada pengelolaan sampah berbasis kawasan. Sebagaimana yang tersusun dari namanya yakni Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan. 

Kalau saya lebih suka menyebutnya dengan istilah pengelolaan sampah dari rumah ke rumah. Seperti judul artikel ini. Karena pada dasarnya proses pengelolaan sampah harus berawal dari rumah.

Konsep besar yang diharapkan mampu mengatasi permasalah sampah ini dilatar belakangi oleh peristiwa bencana sampah pada tahun 2005 lalu di Cimahi tepatnya di TPA Leuwigajah. Bencana ini termasuk parah menimbulkan korban jiwa yang cukup banyak, meluluhlantakkan beberapa rumah di sekitarnya. Dan yang paling mengenaskan dari kejadian ini adalah hanya karena "tumpukan sampah".

Bayangkan saja betapa mengerikannya hal ini. Tidak habis pikir. Sesuatu yang seolah-oleh kita abaikan, tidak kita sadari, lama kelamaan akan menjadi potensi bahaya laten yang bisa datang kapan pun semaunya jika sudah "siap".

Sebelumnya saya ingin sedikit mention sedikit sekaligus berterima kasih pada mata kuliah MT4004 Aspek Keberlanjutan yang sudah memberikan insight baru pada saya. Khususnya mengenai salah satu permasalahan pokok dalam aspek keberlanjutan lingkungan ini. Salam salut juga ingin saya haturkan pada kolega kelompok 11 (Ojan, Dom, Kevin, dan April) yang sudah mendiskusikan studi kasus mengenai Kang Pisman dan Zero Waste Cities kala itu. 

Mengapa Harus dari Rumah ke Rumah?

Pada dasarnya konsep Zero Waste Cities atau yang lebih dipopulerkan lagi sebagai Program Kang Pisman di Kota Bandung ini menggunakan dua prinsip dalam pengelolaan sampah. Pertama adalah pengurangan dan yang kedua melalui penanganan.

Nah dalam hal pengurangan inilah peran serta masyarakat sangat diperlukan. Jumlahnya cukup besar. Satu orang saja kira-kira bisa menghasilkan sekitar setengah kilogram sampah perhari. Dikalikan beberapa rumah, dalam satu RT, satu RW, satu kelurahan hingga lebih luas lagi dalam skala satu kota. 

Ada satu jurnal yang membahas hasil implementasi program kawasan bebas sampah pada salah satu kelurahan di Kota Bandung. Jurnal ini berjudul "IDENTIFIKASI TINGKAT PENGURANGAN SAMPAH DENGAN ADANYA PROGRAM KAWASAN BEBAS SAMPAH (STUDI KASUS RW 7 KELURAHAN KEBON PISAN KOTA BANDUNG)" yang disusun oleh akademisi dari Teknik Lingkungan ITB.


Fokus penelitian jurnal tersebut adalah mengobservasi kawasan yang sudah termasuk dalam Kawasan Bebas Sampah sejak 2015 lalu. Disebutkan bahwa sebelumnya kawasan yang beranggotakan 1686 warga ini menghasilkan sekitar 758.7 kg sampah per harinya. 

Komposisi sampahnya pun beragam mulai dari sampah organik, anorganik, residu dll. Dimana sampah yang paling mendominasi adalah sampah organik seperti sampah-sampah dapur, sekitar 53.8% dari keseluruhan timbulan sampah yang ada.

Lalu kemudian disinilah tahap pentingnya, yaitu tahap pengelolaan. Jadi sampah-sampah tadi yang sudah dipisahkan berdasarkan jenis-jenisnya, diolah dan disalurkan ke beberapa metode. 

Untuk sampah-sampah organik yang paling umum adalah diolah menjadi kompos dengan beberapa varian alat. Walaupun bentuk dan caranya bisa jadi beda tetapi outputnya tetap sama yaitu menjadi kompos. 

Sedangkan untuk sampah anorganik ini bisa disalurkan ke bank sampah. Tempat pengepulan sampah seperti sampah kertas, plastik, logam, kaca yang masih bisa didaur ulang. Dengan menyalurkan sampah ke bank sampah, warga akan mendapatkan upah/bayaran berdasarkan beratnya. Jadi secara ekonomis akan memberikan penghasilan tambahan dari barang-barang yang terkesan tidak berguna lagi.

Selain itu sampah ternyata juga bisa disedekahkan kepada yang membutuhkan. Tentunya disini sampahnya adalah barang-barang bekas yang sudah tidak lagi digunakan oleh pemilik sebelumnya tetapi dari segi fungsional masih layak. Oleh karena itu daripada dibuang dan mengotori lingkungan akan lebih baik apabila disalurkan pada orang-orang yang membutuhkan.

Dan ternyata dari metode-metode pengurangan tadi terlihat adanya pengurangan walaupun kalau dilihat sekilas tidak terlalu besar, yaitu sebesar 16.43%. Dari jumlah produksi sampah harian tadi ada penurunan sekitar 124.98 kg/harinya. 

Memang kalau dibandingkan dengan target pengurangan sampah Kota Bandung berdasarkan Rencanan Pembangunan Jangka Menengah Daerah yaitu sebesar 30%. Angka 16.43% itu masih belum mencapai target. Tapi setidaknya hal ini menjadi titik loncatan awal untuk memaksimalkan program ini. Dan semakin memperjelas bahwa kita, masyarakat, yang menjadi salah satu pemeran utama dalam pengelolaan sampah sejak sedini mungkin.

Di sisi lain kita juga bisa melihat sudut pandang bahwa dari satu kawasan saja mampu mengurangi jumlah sampah sebanyak itu. Bayangkan bagaimana nantinya kalau sudah diterapkan secara menyeluruh dalam satu kota? Sesuai dengan tujuan ideal dari Zero Waste Cities

Tentunya perlu peran serta dari berbagai lapisan kehidupan bukan hanya masyarakat tetapi juga pemerintah daerah. Semuanya harus berkomitmen dalam usaha merealisasikan konsep besar penyelamat lingkungan tersebut. 

Tapi tenang, kita tidak perlu berkecil hati melihat data-data tadi. Ada data terbaru yang dirilis oleh YPBB mengenai pencapaian Kota Cimahi dalam menerapkan konsep Zero Waste Cities ini.


Data terbaru dari tahun 2020 pada gambar diatas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pemilahan sampah adalah sebesar 63.24%. Hingga 24 September 2020 di RW 10 dan RW 11 Kelurahan Melong sudah berhasil mengurangi sampah hingga 38%. 

Dengan membandingkan data terbaru yang dilansir YPBB ini dengan data dari jurnal yang saya sematkan sebelumnya, terlihat bahwa masyarakat kini sudah mulai paham dan bergerak secara sadar. Tingkat pengurangan sampah menjadi lebih tinggi lagi. Artinya kita semua sebenarnya bisa kok bergerak bersama-sama dalam menyelesaikan permasalahan yang cukup pelik ini.

Penghalangnya dari dalam diri kita masing-masing hanya masalah kebiasaan. Bagaimana cara kita untuk membangun kebiasaan baru yang mungkin diawal terasa berat. Namun efek jangka panjangnya sangatlah bermanfaat bagi kemaslahatan bersama.

Menyeimbangkan Siklus Material 

Alasan lain mengapa konsep "Zero Waste Cities" ini harus diterapkan adalah untuk menyeimbangkan siklus material di lingkungan. 

Untuk sampah anorganik persis seperti yang sudah dilakukan di lingkungan RW 7 Kelurahan Kebon Pisang Kota Bandung, sampah-sampah tersebut bisa dialurkan ke bank sampah  untuk dijual (kalau masih memiliki nilai ekonomis), atau bahkan disedekahkan kepada orang yang membutuhkan. 

Manfaatnya kita tidak lagi mengotori lingkungan dengan sampah yang sulit terurai tetapi malah kebalikannya, bermanfaat bagi diri sendiri dan juga orang lain di sekitar kita.

Sedangkan untuk sampah organik ada beberapa peralatan yang bisa digunakan dalam mengolahnya. Seperti bata terawang, tong komposter, biodigester, atau menggunakan metode konvensional dengan menguburnya pada suatu lubang di pekarangan rumah. 

kompetisi blog zwc

Metode-metode semacam itu pada prinsipnya adalah mengubah sampah organik tadi menjadi kompos. Sampah-sampah organik yang pada dasarnya bersifat biodegredable. Atau secara mudahnya dia bisa terurai dengan bantuan mikroorganisme. Berbeda dengan sampah-sampah anorganik contohnya plastik yang butuh waktu lama untuk terurai secara alami jika dibiarkan begitu saja di lingkungan. 

Kompos tersebut nantinya bisa digunakan untuk memupuk tanaman. Memberikan nutrisi berharga bagi tanaman untuk tumbuh dan berkembang lebih sehat. 

Tanaman seperti buah-buahan dan sayur-sayuran akan meningkat produksi panennya sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan, entah itu dikonsumsi sendiri bahkan dijual ke pasaran. 

Sangat holistik sekali bukan? Penyelesaian masalah lingkungan hidup ternyata pada akhirnya juga bermanfaat pada aspek ketahanan pangan. Perputaran manfaat yang menjamin aspek keberlanjutan lingkungan.

Beruntung sekali kalau boleh saya bilang, terutama bagi Anda yang tinggal di kawasan yang sudah menginisiasi konsep Zero Waste Cities ini. Anda tidak perlu berjuang sendirian dalam usaha penyelamatan lingkungan yang sangat mulia ini.

Terlebih lagi apabila pemerintah setempat juga sudah menyusun kebijakan terkait secara matang. Bantuan sarana dan prasarana serta supervisi yang baik tentunya akan sangat membantu keberlanjutan program ini.

Ibaratnya sebatang lidi yang berdiri sendiri tidak akan mampu "membersihkan" dedaunan di pelataran dengan efektif. Tetapi jika ratusan bahkan ribuan lidi bersatu dalam satu kesatuan, yang lazimnya kita sebut dengan sapu lidi, sudah pasti sangat kuat dan efektif untuk "menyapu" dedaunan yang berserakan.

Akan tetapi bagi kita yang belum termasuk kedalam kawasan pilot project semacam ini tidak perlu berkecil hati. Sudah semestinya kita memiliki rasa tanggung jawab untuk melancarkan program besar dalam upaya penyelamatan lingkungan ini. Hal sekecil apapun bisa kita mulai dari diri kita masing-masing.

Misalnya sesederhana mulai membiasakan untuk memilah sampah berdasarkan jenisnya. Walaupun dari segi fasilitas maupun kebijakan belum terakomodir, setidaknya pemilahan sampah sejak di rumah akan memudahkan petugas pengangkut sampah dalam menanganinya nanti. Sebelum pada akhirnya tersalurkan ke Tempat Pembuangan Akhir.

Oleh karena itu marilah kita bersama-sama bergandengan tangan mengusahakan dan merealisasikan konsep Zero Waste Cities ini. Demi kelangsungan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu kita. 

Posting Komentar